Indonesia tengah diramaikan oleh rencana pengesahan rancangan undang-undang (RUU) perampasan aset. Pembahasan mengenai RUU ini awalnya keluar dari mulut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Saat itu, dirinya tengah menghadiri rapat kerja dengan DPR. Secara langsung, dia meminta DPR untuk mendukung dan segera meloloskan RUU tersebut.
Ternyata desakan Mahfud ini ditenggarai karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan agar RUU ini bisa segera berlaku. Jokowi menegaskan hal ini merupakan inisiatif dari pemerintah, dan meminta RUU tersebut agar segera diselesaikan oleh DPR.
Dalam beleid yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 ini akan memperkuat pemberantasan tindak pidana korupsi atau tipikor di Tanah Air.
“Ini prosesnya sudah berjalan. Saya harapkan dengan UU perampasan aset itu dia akan memudahkan proses-proses utamanya dalam tindak pidana korupsi untuk menyelesaikan setelah terbukti karena payung hukumnya jelas,” kata Jokowi saat melakukan penyerahan Bantuan Tunai Langsung (BTL), dikutip Minggu (8/4/2023).
Dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Mahfud MD memang secara langsung meminta dukungan DPR untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset.
Dia menilai upaya menindak kasus korupsi saat ini cukup sulit. Oleh karena itu, aparat penegak hukum membutuhkan ‘senjata’ untuk mengatasi korupsi. Kepada Ketua Komisi III Bambang Pacul, Mahfud memohon dukungan.
“Tolong melalui Pak Bambang Pacul (Ketua Komisi III) Pak, (Rancangan) Undang-Undang Perampasan Aset tolong didukung,” ujarnya. Sayangnya, Bambang meminta agar Mahfud mendekati satu per satu Ketua Umum partai. Pasalnya keputusan anggota DPR RI ditentukan oleh pandangan partai.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter Kaban mengatakan RUU ini sebenarnya memiliki bentuk draf pada 2015. Draf ini sudah cukup kuat untuk menyita aset-aset pelaku tindak kejahatan yang mencuci uangnya, bukan hanya koruptor tapi termasuk pelaku terrorisme, narkotika, pencurian, hingga penggelapan.
“Kenapa itu perlu didukung pembahasan dan pengesahannya, karena RUU ini akan mempercepat proses perampasan dan pengembalian aset hasil tindak pidana, salah satunya korupsi. Jadi bukan hanya untuk Tipikor berlakunya,” ujar Lola.
Berdasarkan draf yang sudah beredar pada 2015, dia mengatakan RUU Perampasan Aset ini bisa menjadikan aset-aset dalam bentuk kendaraan, properti, serta harta benda lainnya, menjadi objek yang mampu dirampas negara jika diperoleh berdasarkan hasil tindak pidana atau kejahatan.
Namun, Lola mengingatkan, draf terbaru belum dibuka aksesnya oleh pemerintah sehingga bisa saja terjadi penguatan lebih baik atau malah membuka lebar pelemahan terhadap RUU itu. Meski demikian, Lola memastikan bahwa RUU ini turut mempercepat proses hukum perampasan aset hasil tindak pidana.
Dia mencontohkan, selama ini aset-aset hasil tindak pidana korupsi atau tipikor harus nunggu keputusan inkrah atau berkekuatan hukum tetap supaya bisa dirampas oleh negara. Prosesnya bisa tahunan, karena bisa digugat oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan ketika proses hukum masih berjalan.
Dengan RUU Perampasan Aset ini, Lola memastikan aset-aset hasil tindak pidana bisa langsung dirampas pada saat keputusan hasil tingkat pertama, yaitu keputusan di pengadilan negeri. Setelah itu, tak akan diberikan kewenangan untuk digugat.
“Prinsipnya dia bisa memotong waktu proses perampasan asetnya. Di draf RUU 2015 kalau enggak salah prosesnya final di tingkat pertama saja, enggak bisa dibanding, enggak bisa dikasasi, pokoknya enggak ada upaya hukumnya,” tutur Lola.